Al Manar ayah saya....

Berbaju batik bahan tissue dengan corak pucuk berwarna dominan merah tua, kemudian mengenakan peci, bersandal dan memegang sebuah map lusuh berwarna merah transparan. Di dalamnya, ada beberapa lembar berkas surat-surat maha penting bagi kami, anaknya.

Pria sepuh yang tahun kini genap berusia 72 tahun itu siap-siap untuk saya boncengi, pada hari Sabtu pagi belum lama ini. Bapak tua ini hendak ke rumah seorang petinggi, tuan X namanya, ke arah pusat Kota untuk sebuah keperluan. Pagi itu, kerut wajahnya tampak tak serapat sehari sebelumnya. Di wajahnya terlukis secercah harapan, sedikit memancarkan senang, dan bibirnya agak basah, pertanda banyak bicara. Meski sudah sepuh, pria tua ini masih terlihat lincah dan daya ingatnya tergolong sempurna bagi manusia serenta dia. Dialah ayah saya, Al Manar, seorang pensiunan golongan II A Kantor Balaikota Padang. SUami dari perempuang kampung bernama Nursiah dan ayah dari lima anak.

Ibu saya mengantarkan kami sampai di halaman depan. Dengan fisik yang tak sehat, karena hipertensi ibu saya hanya bisa duduk dengan mata penuh binar, dan doa tentunya. Doa selamat pulang pergi, dan sudah pasti saja doa agar kepergian ke rumah si petinggi ini membawa hasil yang jujur, sangat kami harapkan!

Mesin motor MIO saya hidupkan, menyegera si Ayah untuk naik. Bismilillahirahmanirahim,
"Pai lu 'mah!!" sahut ke ibu yang biasa saya panggil Amah. Mama mengangguk pelan.
Dan bruuuuuuuuuuuuuuuummm..motorpun saya kebut menuju pusat kota.

Tak lama dalam perjalanan, kamipun sampai di rumah Tuan X. Ayah turun dari motor. Sebelum memarkirkan motor, saya melihat ayah berjalan menuju garasi, tempat mobil Innova hitam mewah milik Tuan X terpakir.

TIba-tiba saja perasaan saya terharu, melihat ayah saya yang begitu semangat mencari si Tuan X, meminta bala bantuan. Jalannya tegap, berpeci, baju batik lengan panjang dimasukin, bersendal sambil memegang map merah lusuh. Ohhhhh god!! Ya Allah........ayah saya, tak ubahnnya terlihat ingat ya TERLIHAT, seperti pengemis yang biasa memegang map lusuh bergambarkan masjid yang belum usai di bangun. Dan memang kedatangan kita untuk 'mengemis' sama si Tuan X ini. Subbhanallah, air mata saya menumpuk, sebelum menetes, sesegera mungkin saya seka.

Tuan X bersama istrinya ternyata lagi beberes untuk segera ke kentor, terlihat dari dandanannya yang sudah rapi, lengkap dengen kemeja putih, peci hitam, sepatu pantopel kulit, jam tangan dan tentu saja mondar-mondir dengan handphone di kuping pertandan udah deadline.

Melihat kedatangan kami, sang asisten rumah tangga Tuan X menyilakan kami dengan sopan masuk, menyilakan duduk, kemudian menyuguhkan air putih hangat. KAMI MEMANG DATANG 'MENGEMIS PERTOLONGAN', DARI KAMPUNG KALUMBUAK KURANJI PULA....DAN PAKAIAN KAMI TAK SEDIKITPUN LUSUH, RASANYA DUA CANGKIR AIR PUTIH INI SUDAH MENUNJUKAN WATAK SI TUAN X, setidaknya juga WATAK SI ASISTEN RUMAH TANGGA, YANG seorang IBU-IBU YANG PANTATNYA OVERSIZED BANget!

Karena saya hanya menemani Ayah, saya lebih banyak diam, bersikap PPB dan PPL mungkin juga PPM. PPB, pura-pura bodoh, PPL pura-pura lugu dan PPM, pura-pura miskin (emang miskin kali...!) mendengar si Tuan X ngobrol dengan bahasa ala pejabatnya ke Ayah. Karena sudah tua, saya melihat Ayah tak menangkap bahasa Tuan X yang sangat halus MENOLAK permohonan bantuan yang kami PINTA. Saya tak bisa diam, saya menyahut, dan menerangkan maksdu Tuan X tadi ke ayah, dengan bahasa khas rumahan. Ayah mengerti.

Si pejabat tinggi yang adalah tetangga saya ini, sepertinya sudah mau buru-buru mengakhiri pertemuan karena dia sudah tampak gelisah menuju tempat kerjanya. Maklum pejabat.

Tiba-tiba dia mengajak kami sarapan. Saya sontak bilang dengan sopannya, Maaf Pak, awak indak biaso makan pagi. Dan si Tuan X memahami dengan sopan pula. Namun berbeda dengan Ayah, dia tampak semangat dan sedikit memaksa. Saya sudah keukeuh tidak mau, akhirnya hanya Ayah yang mau ikut sarapan bersama Tuan X.

Kenapa saya tak ikut? Jujur, dari penolakannya yang halus tadi, saya sudah tak nyaman di rumahnya. Permohonan bantuan Ayah saya ini bukan sekali ini saja, tapi sudah sangat sering. Selalu tak ada hasil. Namun kedatangan kami kali ini, adalah yang terakhir. Berharap, karena Tuan X adalah orang sekampung, maulah kira-kira membantu kami. Tapi lagi-lagi tidak bisa, dengan alasan yang saya rasa cukup logis namun TIDAK FAKTUAL.

Karena Ayah sudah ompong, dan makannya dikit, Ayah keluar pertama kali dari ruang makan. Ayah mengajak saya pamitan sama Tuan X yang mash sibuk icip-icip di meja makan. Sayapun menuruti ayah.
"Pak, awak pamit?"
"Oh iyo,"

Kamipun keluar dari rumah dinas itu, menuju motor. Satu orang security di lengan kirinya ada tulisan SATPOL PP ternyata mengenal ayah dengan baik. Dari obrolannya, si security teman lama Ayah sewaktu di Balaikota. Tak cukup 30 menit pertemuan itu, saya dan Ayah pulang pulang kembali dengan motor MIO kreditan ini. Sebelum melaju, saya sempatkan mengecek ekpresi wajah ayah, apakah masih sama dengan ekresi sebelum berangkattadi. Subhanallah Allahuakbar, masih sama bahkan lebih jernih dari sebelumnya. Saya, mengerut masam dan tentu saja very disappointed!!

Saya memanggil putra asili Tampat Pincuran Tujuah Kalumbuak ini dengan, Apah.......dan
"Kama wak lai 'Pah?"
"Pulang wak lai.."

oh................................boleh dong saya nangis bercucuran air mata haru.......?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KKK: Mandiin kucing, beneran bisa mendatangkan hujan??

Disaster of Bulu Hidung....

PACAH TALUA !